Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Nabi Muhammad SAW: Perjalanan Hidup Sang Utusan Allah

Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam adalah tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Islam dan umat Muslim di seluruh dunia. Kehidupannya penuh dengan pelajaran berharga, tantangan yang berat, dan pencapaian yang luar biasa. Mari kita telusuri perjalanan hidup beliau dari awal hingga fath Mekah.

Awal Kehidupan: Lahir di Tahun Gajah

Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun yang dikenal dengan "Tahun Gajah". Tahun ini dipilih karena peristiwa spektakuler ketika Raja Abrahah dari Yaman mencoba menghancurkan Ka'bah dengan membawa pasukan bergajah. Allah menunjukkan mukjizatnya dengan mengirimkan pasukan burung Ababil yang melempar batu panas, sehingga pasukan Raja Abrahah menjadi kalah dan terpaksa mundur.

Ayah Nabi Muhammad adalah Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda mulia dari keluarga Quraisy yang terhormat. Ibunya adalah Aminah binti Wahab, seorang wanita yang saleh. Sayangnya, Abdullah meninggal dunia dalam perjalanan dagang sebelum Nabi Muhammad lahir, meninggalkan Aminah sedang mengandung. Nabi Muhammad tumbuh sebagai anak yatim piatu.

Masa Pengasuhan dan Pendidikan

Sesuai tradisi keluarga terhormat Quraisy, bayi Muhammad diasuh oleh Halimah Al-Sa'diah dari padang pasir. Halimah awalnya mencari bayi dari keluarga kaya untuk upah yang besar, namun ketika bertemu Muhammad kecil, hatinya langsung tertarik. Sejak mengasuh Muhammad, keluarga Halimah mendapatkan berkah yang melimpah meskipun tanah mereka sedang mengalami kekeringan parah.

Pada usia empat tahun, terjadi peristiwa penting yang disaksikan oleh para penggembala—malaikat membuka dada Nabi Muhammad dan mencucinya dengan air Zamzam. Ini adalah peristiwa pembelahan dada yang pertama kali.

Setelah usia enam tahun, Nabi Muhammad pulang untuk tinggal bersama ibunya di Mekah. Ibunya mengajaknya berziarah ke makam ayahnya di Madinah. Dalam perjalanan pulang, ibunya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia. Nabi Muhammad menjadi anak yatim piatu di usia yang masih sangat muda.

Masa Remaja: Bekerja dan Berkembang

Kakeknya, Abdul Muthalib, mengasuh Nabi Muhammad dengan penuh kasih sayang. Ketika kakeknya wafat beberapa tahun kemudian, pamannya Abu Thalib yang kemudian merawatnya. Meskipun keluarganya terhormat, mereka tergolong keluarga yang kurang mampu secara finansial.

Sejak kecil, Nabi Muhammad sudah terbiasa bekerja. Beliau menggembalakan kambing dan domba milik tetangga. Reputasinya sebagai anak yang jujur dan dapat dipercaya membuat banyak orang senang mempercayakan ternak mereka kepadanya. Ketika berusia 13 tahun, Nabi Muhammad mulai ikut pamannya berdagang ke Syam (Syria). Perjalanan jauh ini mengajarkan beliau banyak tentang dunia perdagangan dan kehidupan sosial.

Julukan "Al-Amin" dan Pernikahan dengan Khadijah

Berkat sifat jujur dan amanahnya yang konsisten, Nabi Muhammad mendapat julukan "Al-Amin" yang berarti "yang dapat dipercaya". Di saat banyak pemuda seusianya melakukan hal-hal tercela seperti berjudi, mabuk, dan bermabuk-mabukan, Nabi Muhammad tetap menjaga diri dengan baik.

Ketika dewasa, Nabi Muhammad bekerja untuk Khadijah, seorang janda kaya yang memiliki bisnis perdagangan terbesar di Mekah. Khadijah mendapat julukan "At-Tahirah" yang berarti "yang suci". Setiap kali Nabi Muhammad pergi berdagang, selalu membawa hasil yang memuaskan dan menguntungkan. Kepandaian dan kejujuran Nabi Muhammad menarik hati Khadijah hingga akhirnya beliau melamar Nabi Muhammad.

Pernikahan mereka berlangsung ketika Nabi Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah berusia 40 tahun. Meskipun Khadijah jauh lebih tua, beliau memilih Nabi Muhammad karena akhlaknya yang mulia. Khadijah adalah istri yang istimewa—beliau akan menjadi pendukung setia Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam dan menggunakan seluruh hartanya untuk menegakkan agama Allah.

Pencarian Kebenaran di Gua Hira

Seiring bertambahnya usia, Nabi Muhammad semakin merasa gelisah melihat kondisi masyarakat Quraisy yang masih menyembah berhala. Beliau mulai mencari kebenaran dan sering menyendiri untuk bermeditasi dan berdo'a. Khadijah sepenuhnya mendukung keinginan suaminya ini.

Pada usia 40 tahun, Nabi Muhammad memutuskan untuk berkhalwah (menyendiri) di Gua Hira untuk berdoa dan merenungi kehidupan. Khadijah menyiapkan segala yang beliau butuhkan selama menyendiri. Kehidupan rohaniah beliau semakin dalam dalam Gua Hira.

Turunnya Wahyu Pertama

Pada suatu malam di bulan Ramadan, saat Nabi Muhammad sedang menyendiri di Gua Hira, tiba-tiba muncul sosok malaikat yang tidak dikenalnya. Sosok itu adalah Malaikat Jibril, utusan Allah. Jibril memerintahkan, "Bacalah!" Nabi Muhammad menjawab, "Aku tidak mampu membaca."

Malaikat Jibril kemudian memeluk Nabi Muhammad dengan sangat kuat hingga beliau kesulitan bernafas, dan mengulangi perintah itu. Setelah diulang berkali-kali, Nabi Muhammad akhirnya membaca ayat-ayat pertama dari Al-Quran:

"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang paling pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-Alaq: 1-5)

Setelah Malaikat Jibril menghilang, badan Nabi Muhammad bergetar hebat. Beliau berlari pulang dan meminta Khadijah untuk membungkusnya dengan selimut. Nabi Muhammad menceritakan pengalamannya yang menakjubkan itu kepada istri tercintanya.

Dukungan Keluarga Terdekat

Khadijah segera mempercayai suaminya dan memeluk Islam sebagai agama pertama. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad. Setelahnya, orang-orang terdekat juga memeluk Islam: Ali bin Abi Thalib (sepupu berusia 10 tahun), Abu Bakar (sahabat setia sejak kecil), Zaid bin Haritzah (anak angkat), dan Ummu Aiman (pengasuh masa kecil).

Dalam tiga tahun pertama, Nabi Muhammad terus berdakwah secara sembunyi-sembunyi kepada keluarga dan orang-orang terdekat. Jumlah pengikutnya mencapai 40 orang sebelum menerima perintah untuk berdakwah secara terbuka.

Dakwah Terbuka dan Penindasan Quraisy

Ketika menerima perintah berdakwah terbuka melalui Surat Al-Hijr ayat 94, Nabi Muhammad berkhotbah di hadapan kaum Quraisy. Namun, dakwah terbuka ini memicu penolakan keras dari keluarga besarnya sendiri, terutama dari Abu Lahab (pamannya) dan istrinya Ummu Jamil.

Kaum Quraisy merasa terancam karena Nabi Muhammad mengajak mereka meninggalkan berhala dan menyembah Allah Yang Esa. Mereka khawatir kedudukan mereka akan jatuh. Penindasan dimulai—budak, pembantu, dan orang-orang lemah yang memeluk Islam disiksa dengan kejam. Pendapatan kaum Muslim dipotong karena mereka dilarang berdagang dan berbisnis.

Meskipun mengalami penderitaan yang berat, Nabi Muhammad tetap teguh menyebarkan dakwahnya. Beliau mengajarkan kepada umat bahwa Allah adalah Maha Pemberi Rezeki, sehingga tidak ada alasan untuk mengeluh.

Isra dan Miraj: Perjalanan Menakjubkan

Pada tahun kesepuluh kenabian, Nabi Muhammad mengalami dua peristiwa ajaib dalam satu malam. Pertama, Malaikat Jibril datang membuka dada Nabi Muhammad dan membersihkannya dengan air Zamzam, kemudian mengisinya dengan iman dan hikmah. Lalu datanglah Buraq, seekor kendaraan yang bersayap dan berwarna putih.

Naik ke atas Buraq, Nabi Muhammad diangkut dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Ini disebut Isra (perjalanan malam). Setelah salat dua rakaat di Masjidil Aqsa, Malaikat Jibril membimbing Nabi Muhammad naik melalui tujuh langit hingga Sidratul Muntaha. Ini disebut Miraj (perjalanan ke langit).

Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad bertemu dengan para nabi sebelumnya: Nabi Adam, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Yusuf, Nabi Idris, Nabi Harun, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim. Akhirnya, beliau dihadapkan ke hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan menerima perintah untuk melaksanakan salat 50 kali sehari.

Perjalanan menakjubkan ini hanya terjadi dalam sekejap waktu di satu malam. Ketika Nabi Muhammad menceritakan kepada kaum Quraisy, mereka mentertawakannya. Namun Abu Bakar langsung percaya, dan karena itulah beliau diberi gelar "As-Siddiq" (orang yang membenarkan).

Hijrah Pertama ke Habasyah

Penindasan terhadap kaum Muslim semakin meningkat. Nabi Muhammad memerintahkan sebagian umatnya untuk hijrah ke Habasyah (Etiopia), negara yang dipimpin oleh Raja Najasyi yang adil. Rombongan pertama berjumlah 15 orang, diikuti rombongan kedua yang berjumlah 101 orang.

Di Habasyah, kaum Muslim dapat beribadah dengan aman. Ketika kaum Quraisy mengirim utusan untuk membujuk Raja Najasyi agar mengusir kaum Muslim, Raja Najasyi justru percaya pada Islam setelah mendengarkan penjelasan Jafar bin Abi Thalib dan mendengarkan Surat Maryam. Raja Najasyi menangis dan berkata, "Ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu cahaya yang sama."

Penderitaan di Tahun Kesepuluh dan Hijrah Besar

Tahun kesepuluh kenabian adalah tahun paling sulit bagi Nabi Muhammad. Beliau kehilangan dua orang paling dicintai: Abu Thalib (pamannya) dan Khadijah (istri tercintanya). Tanpa perlindungan Abu Thalib dan dukungan Khadijah, penindasan Quraisy semakin ganas.

Nabi Muhammad pergi ke Taif untuk mencari perlindungan, namun penduduk Taif menolak dan melemparnya dengan batu sehingga terluka parah. Dalam kesedihan yang mendalam, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah. Allah menunjukkan mukjizat dengan membuka dada Nabi Muhammad sekali lagi, membersihkan dan mengisinya dengan iman dan hikmah.

Ketika situasi di Mekah semakin tidak tertahankan, Allah memberikan perintah untuk hijrah. Kali ini, hijrah bukan hanya untuk kelompok kecil, melainkan Nabi Muhammad sendiri yang akan meninggalkan Mekah.

Hijrah ke Madinah: Pengguna Rencana Abu Jahal

Kaum Quraisy berkumpul di Dar An-Nadwah untuk merancang pembunuhan Nabi Muhammad. Abu Jahal mengusulkan untuk memilih pemuda-pemuda gagah dari setiap kabilah dan memberi mereka pedang, dengan janji imbalan 1000 dinar untuk siapa yang berhasil membunuh Nabi Muhammad. Rencana ini disepakati.

Namun Allah Maha Mengetahui. Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad dan memerintahkan untuk tidak tidur di tempat tidur yang biasa. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah. Nabi Muhammad memanggil Abu Bakar dan memberitahu bahwa Allah telah mengizinkan mereka keluar dan hijrah.

Sebelum pergi, Nabi Muhammad meminta Ali bin Abi Thalib tidur di atas tempat tidurnya dengan mengenakan selimutnya. Ketika para pemuda Quraisy menyerbu rumah, mereka tidak menyadari bahwa yang ada di atas tempat tidur itu bukanlah Nabi Muhammad, melainkan Ali.

Dengan dipandu Abu Bakar, Nabi Muhammad meninggalkan Mekah secara diam-diam malam itu. Mereka berlari kaki ke arah selatan, lalu bersembunyi di Gua Tsur selama beberapa hari. Allah melindungi mereka dengan berbagai cara ajaib: laba-laba membuat sarang di mulut gua, burung membuat sarang, dan semak-semak tumbuh rapat. Ketika para pemburu dari Quraisy sampai di depan gua, mereka melihat semua ini dan berasumsi tidak mungkin ada manusia di dalamnya.

Dalam gua itu, Abu Bakar sempat cemas berkata, "Wahai Rasulullah, seandainya ada satu orang dari mereka yang melihat ke bawah, pastilah kita akan terlihat!" Nabi Muhammad menjawab dengan percaya diri, "Bagaimana menurutmu jika ada dua orang yang pergi bersama sedangkan yang ketiganya adalah Allah?"

Kedatangan di Madinah dan Pembangunan Masyarakat Muslim

Setelah empat hari bersembunyi, Nabi Muhammad dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan. Mereka singgah di Kuba, sebuah desa di selatan Madinah, di mana Nabi Muhammad membangun Masjid Kuba, masjid pertama dalam Islam.

Setelah tiba di Madinah, Nabi Muhammad dipersilakan oleh penduduk Madinah yang telah menanti-nantikan kedatangannya. Penduduk Madinah yang telah memeluk Islam melalui dakwah Nabi Muhammad disebut "Kaum Ansar" (penolong).

Nabi Muhammad membangun Masjid Nabawi sebagai pusat ibadah dan dakwah. Beliau juga mengadakan kesepakatan antar penduduk Madinah dari berbagai latar belakang—Muslim, Kristen, dan Yahudi—dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan Piagam Madinah. Perjanjian ini menjamin kebebasan beragama, saling melindungi, dan saling membantu.

Untuk membantu kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah memulai kehidupan baru, Nabi Muhammad menjadikan mereka saudara dengan kaum Ansar. Beliau juga membangun pasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasilnya, Madinah berkembang menjadi kota yang besar, damai, dan sejahtera.

Pertempuran untuk Mempertahankan Iman

Meskipun Madinah telah menjadi tempat yang aman, kaum Quraisy di Mekah tidak puas. Mereka merasa kehilangan pengaruh dan perdagangan mereka terganggu. Berbagai pertempuran terjadi untuk mempertahankan keberadaan Islam.

Perang Badar di tahun kedua Hijriah menjadi pertempuran pertama yang besar. Meskipun kaum Muslim hanya berjumlah 313 orang sedangkan Quraisy 1000 orang, Allah memberikan kemenangan kepada Muslim. Abu Jahal, tokoh pembenci utama Nabi Muhammad, tewas dalam perang ini.

Perang Uhud terjadi di tahun ketiga Hijriah dengan hasil sebaliknya. Kaum Muslim mengalami kekalahan karena kelalaian—para pemanah meninggalkan pos penjagaan mereka untuk mengambil harta rampasan. Khalid bin Walid memanfaatkan kesempatan ini dan menyerang dari belakang, menyebabkan kekalahan.

Perang Khandaq (Perang Parit) terjadi di tahun kelima Hijriah ketika 10.000 pasukan Quraisy dan sekutunya menyerang Madinah. Strategi jenius dari Salman Al-Farisi yaitu menggali parit besar membuat pasukan Quraisy tidak dapat menyeberang. Setelah sebulan berkemah di luar kota, mereka akhirnya menyerah ketika Allah mengirimkan angin badai yang menghancurkan tenda dan membuat unta serta kuda kabur.

Penaklukan Mekah secara Damai

Setelah Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani untuk 10 tahun gencatan senjata, kaum Muslim sempat dilarang menunaikan Haji. Namun dalam salah satu kesempatan ketika kaum Quraisy melanggar perjanjian dengan membantu suku lain menyerang sekutu Muslim, Nabi Muhammad mengambil tindakan tegas.

Nabi Muhammad mengumpulkan 10.000 tentara dan bergerak menuju Mekah. Mereka tidak langsung menyerang melainkan membuat kemah di luar kota. Jumlah pasukan Muslim yang besar membuat kaum Quraisy gentar. Abu Sufyan akhirnya datang menemui Nabi Muhammad dan menyatakan diri memeluk Islam setelah menerima jaminan keamanan bagi siapa yang menyerah.

Pada hari yang ditentukan, Nabi Muhammad dan pasukannya memasuki Kota Mekah dari empat penjuru. Meskipun para sahabat bersemangat ingin merebut kembali kota Mekah, Nabi Muhammad menegaskan dengan suara lantang: "Hari ini adalah hari kasih sayang!"

Beliau memberikan amnesti kepada seluruh penduduk Mekah yang menyerah atau masuk ke rumah mereka sendiri. Beliau membersihkan 360 berhala dari dalam dan sekitar Ka'bah, menghapus semua gambar di dinding Ka'bah. Azan dikumandangkan di Ka'bah untuk pertama kalinya oleh Bilal bin Rabah.

Dengan suara penuh pengampunan, Nabi Muhammad berkata kepada mereka, "Wahai kaum Quraisy, bagaimana kira-kira perlakuan yang akan aku berikan kepadamu?" Mereka menjawab, "Kebaikan, wahai saudara kami." Nabi Muhammad kemudian berkata, "Pergilah kalian, sesungguhnya kalian telah dibebaskan."

Peristiwa ini dikenal dengan "Fath Mekah" (Penaklukan Mekah), sebuah kemenangan yang ditaklukkan bukan melalui pertumpahan darah dan kekerasan, melainkan melalui kebijaksanaan, kasih sayang, dan pengampunan.

Hikmah dari Kehidupan Nabi Muhammad

Perjalanan hidup Nabi Muhammad mengajarkan kita banyak pelajaran berharga. Beliau menunjukkan bagaimana konsistensi dalam nilai-nilai kebaikan dapat mengubah masyarakat. Beliau tidak pernah menyerah meskipun menghadapi penindasan yang brutal dan kehilangan orang-orang tercinta.

Nabi Muhammad juga mengajarkan pentingnya kesabaran, kepercayaan kepada Allah, dan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan. Beliau membuktikan bahwa perdamaian dan pengampunan lebih hebat daripada kemenangan melalui kekerasan.

Kisah beliau menjadi inspirasi bagi jutaan orang Muslim dan non-Muslim di seluruh dunia untuk hidup dengan integritas, dedikasi, dan cinta kepada kemanusiaan. Beliau adalah teladan sejati dalam setiap aspek kehidupan—sebagai individu, keluarga, pemimpin, dan juru dakwah.


Semoga kisah mulia Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam memberikan inspirasi dan pembelajaran bagi kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.