Dakwah Nabi Muhammad di Mekkah: Perjuangan, Penolakan, dan Keteguhan Iman
Mekkah pada abad ke-7 Masehi adalah kota yang tenggelam dalam kegelapan spiritual. Penyembahan berhala, khurafat, tahayul, dan perbuatan biadab merajalela di mana-mana. Bangsa Arab telah tersesat jauh dari jalan kebenaran. Namun, pada tahun 610 Masehi, ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun, Allah menurunkan cahaya yang akan mengubah sejarah dunia selamanya. Inilah kisah dakwah Nabi Muhammad di Mekkah—sebuah era penuh dengan perjuangan, penolakan brutal, namun juga keteguhan iman yang luar biasa.
Gua Hira: Awal Penerimaan Wahyu
Sebelum menerima wahyu kenabian, Nabi Muhammad telah terbiasa menyendiri di Gua Hira. Terletak sekitar enam kilometer di utara Masjidil Haram, gua kecil ini menjadi tempat beliau berkontemplasi dan beribadah menurut cara agama Ibrahim yang hanif (lurus). Sejak awal, beliau merasa ada sesuatu yang mendorong untuk meninggalkan Mekkah, meninggalkan kesibukan kota, dan mencari kebenaran yang murni.
Dalam perjalanan menuju Gua Hira, Nabi Muhammad sering mendengar suara yang menyapanya, "Assalamualaikum Ya Rasulullah—salam sejahtera wahai utusan Allah." Namun, setiap kali beliau menoleh ke kanan, kiri, dan ke belakang, tidak ada siapa pun di sekitarnya selain batu-batu dan pepohonan. Ini adalah tanda-tanda awal bahwa beliau akan diangkat sebagai utusan Allah.
Pada malam 17 Ramadan (atau menurut beberapa riwayat, malam 13 Ramadan) tahun 610 Masehi, ketika Nabi Muhammad sedang berkontemplasi di Gua Hira, tiba-tiba muncul sosok malaikat yang menyerupai manusia. Sosok itu adalah Malaikat Jibril dengan membawa kabar gembiranya.
Wahyu Pertama: "Bacalah!"
"Bergembiralah wahai Muhammad! Aku adalah Jibril, dan engkau adalah utusan Allah untuk umat ini," kata Malaikat Jibril.
Namun, Nabi Muhammad yang tidak siap menjawab dengan terkejut, "Aku tidak bisa membaca." Malaikat Jibril kemudian medekapnya dengan sangat kuat hingga Nabi Muhammad ngos-ngosan seperti orang yang akan meninggal dunia. Jibril mengulangi perintah itu tiga kali, dan setiap kali Nabi Muhammad tetap menjawab, "Aku tidak bisa membaca."
Hingga akhirnya, Jibril menyampaikan ayat-ayat pertama dari Al-Quran:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-Alaq: 1-5)
Peristiwa ini sangat menakutkan bagi Nabi Muhammad. Tubuhnya gemetar, jiwanya terguncang ketakutan. Beliau bergegas pulang menemui istri tercintanya, Khadijah, dalam keadaan gemetaran.
Dukungan Khadijah dan Masa Penantian Wahyu
Dengan tegar, Khadijah menenangkan suaminya. Beliau segera mengajak Nabi Muhammad menemui pamannya, Waroqah bin Naufal, seorang pemilik kitab (Ahul Kitab) yang menguasai bahasa Ibrani dan sangat mengenal perjalanan para nabi sebelumnya.
Setelah mendengar cerita Nabi Muhammad, Waroqah mengatakan dengan pasti, "Ini adalah An-Namus, malaikat yang sama seperti yang pernah Allah turunkan kepada Nabi Musa." Waroqah kemudian memperingatkan, "Kalau nantinya engkau akan didustakan, diganggu, dan diusir oleh kaummu."
Meskipun penjelasan Waroqah membuat jiwa Nabi Muhammad mulai tenang, beliau kemudian kembali merasa gelisah. Menyangsikan apakah benar-benar dirinya adalah seorang nabi seperti yang dikatakan Waroqah? Pertanyaan ini semakin membesar ketika wahyu berikutnya tidak turun selama waktu yang lama.
Masa Fatratul Wahyu: Ujian Keraguan
Periode penantian wahyu yang panjang ini disebut dengan "Fatratul Wahyu" (masa terputusnya Wahyu). Ada riwayat yang menyebutkan masa ini berlangsung 30-40 hari, namun ada juga yang mengatakan berlangsung hingga dua tahun. Selama masa ini, Nabi Muhammad sering datang ke Gua Hira dengan harapan Jibril akan kembali, tetapi terus kembali dengan penuh keraguan.
Ditengah kegelisahan ini, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat keras dari langit. Saat Nabi Muhammad melihat ke atas, beliau melihat Malaikat Jibril duduk di antara langit dan bumi. Karena masih trauma dengan kejadian di Gua Hira, Nabi Muhammad ketakutan dan bergegas pulang meminta istri untuk menyelimutinya.
Allah kemudian menurunkan wahyu yang kedua: Surat Al-Mudatsir (Ayat 1-7). Dalam surat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk bangun dari tidur dan menyebarkan dakwah kepada umat.
Pelajaran dari peristiwa ini sangat berharga: menerima wahyu tidaklah mudah. Ini bukan sesuatu yang datang dengan begitu saja. Diperlukan perjuangan naik turun ke Gua Hira, memantaskan diri, dan kesiapan spiritual yang mendalam sebelum menerima tanggung jawab besar sebagai utusan Allah.
Dakwah Sembunyi-Sembunyi: Tiga Tahun Pertama
Setelah menerima wahyu kedua, Nabi Muhammad bangkit menjalankan perintah Allah. Beliau mulai mengajak orang-orang untuk beriman kepada Allah, menyembah-Nya, dan menganut agama tauhid (percaya pada keesaan Allah).
Namun, Nabi Muhammad tidak langsung berdakwah secara terbuka. Beliau memulai dengan dakwah sembunyi-sembunyi, menghindari kemarahan kaum Quraisy. Dakwah dimulai dari keluarga terdekat dan orang-orang paling dekat dengannya.
Orang pertama yang memeluk Islam adalah istri beliau, Siti Khadijah. Kemudian Ali bin Abi Thalib (sepupunya yang masih berusia 10 tahun), Zaid bin Haritzah (anak angkat beliau), dan Ummu Aiman (pengasuh beliau saat kecil). Setelah itu, Nabi Muhammad mengajak sahabat karibnya, Abu Bakar As-Shiddiq.
Masuknya Abu Bakar menjadi momentum penting. Abu Bakar adalah salah satu pembesar suku Quraisy dan memiliki pengaruh besar. Lebih dari itu, Abu Bakar adalah seorang pedagang yang memiliki banyak kenalan dari kalangan pembesar Quraisy. Beliau kemudian mengajak teman-teman bisnisnya, dan banyak yang menyambut dengan baik. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Az-Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Selama tiga tahun dakwah sembunyi-sembunyi, markas dakwah Nabi Muhammad adalah rumah Al-Arqam bin Abil Arqam di Bukit Sofa yang terpencil. Meskipun dakwah dilakukan dengan hati-hati, namun dalam tiga tahun ini Nabi Muhammad hanya berhasil mengumpulkan sekitar 30 orang pengikut. Sungguh sebuah perjuangan yang berat bagi Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang pertama.
Mereka inilah yang disebut golongan "Fabiul Awwalun" (orang-orang pertama yang masuk Islam), dan mereka adalah aset paling berharga dalam sejarah Islam.
Dakwah Terbuka: Menghadapi Penolakan
Setelah tiga tahun menyebarkan dakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah menurunkan perintah untuk berdakwah secara terbuka dan terang-terangan. Wahyu Qur'an Surah As-Syu'ara (Ayat 214-216) dan Surah Al-Hijr (Ayat 94) menjadi perintah Allah untuk mulai menyiarkan dakwah Islam secara terbuka kepada seluruh kaum.
Nabi Muhammad segera mengumpulkan orang-orang Quraisy, khususnya keluarganya dari Bani Hasyim, di Bukit Sofa. Beliau berdakwah dengan terbuka tentang keesaan Allah dan kesalahan penyembahan berhala.
Seruan dakwah Nabi Muhammad segera menyebar ke seluruh Mekkah. Bahkan Abu Lahab, paman beliau sendiri, hadir bersama istri Ummu Jamil untuk mendengarkan. Di depan mereka semua, Nabi Muhammad berseru dengan lantang:
"Jika aku katakan kepada kalian bahwa di sebelah bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerangmu, apakah kalian percaya kepadaku?"
Mereka serentak menjawab, "Kami percaya, sebab engkau adalah seorang yang jujur, dan kami tidak pernah menemui engkau berdusta."
Nabi Muhammad kemudian berkata, "Aku peringatkan kalian akan siksa di Hari Kiamat! Allah menyuruhku mengajak kalian untuk menyembah-Nya semata, bukan kepada berhala-berhala yang kalian sembah!"
Mendengar seruan tersebut, Abu Lahab langsung mencaci-maki sambil berkata, "Celakalah engkau wahai Muhammad! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami semua?"
Atas reaksi keras Abu Lahab tersebut, Allah menurunkan Surat Al-Lahab (Ayat 1-5) yang menerangkan bahwa yang akan celaka bukanlah Nabi Muhammad, melainkan Abu Lahab sendiri.
Penindasan Kaum Quraisy: Ujian Iman
Setelah dakwah berjalan terang-terangan, penindasan dari kaum Quraisy meningkat drastis. Para pemimpin Quraisy merasa terancam dengan ajaran tauhid yang menolak penyembahan berhala. Mereka khawatir kehilangan penghasilan dari bisnis berhala dan perdagangan yang terkait dengannya.
Para pemimpin Quraisy pertama-tama datang menemui Abu Thalib (paman yang merawat Nabi Muhammad) untuk memintanya mencegah kegiatan dakwah keponakannya. Namun upaya itu tidak berhasil. Mereka bahkan mengancam Abu Thalib hingga beliau terpaksa meminta Nabi Muhammad untuk berhenti berdakwah.
Abu Thalib memanggil Nabi Muhammad dan berkata, "Wahai anak saudaraku, berhentilah dari dakwahmu ini, karena kaum kami tidak akan pernah menerima apa yang engkau bawa."
Namun, dengan teguh dan penuh keyakinan, Nabi Muhammad menjawab:
"Demi Allah, meskipun matahari ada di tangan kananku dan bulan ada di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah agama Allah ini hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya."
Mendengar jawaban yang begitu teguh, Abu Thalib langsung merasa terharu dan memanggil kembali keponakannya, "Pergilah dan katakanlah apa yang engkau kehendaki. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada mereka selamanya."
Setelah strategi melalui Abu Thalib tidak berhasil, kaum Quraisy mengalihkan penindasan mereka kepada para pengikut Nabi yang lemah. Mereka menyiksa budak-budak, pembantu, dan orang-orang miskin yang masuk Islam.
Korban-Korban Penyiksaan
Bilal bin Rabah, seorang pemuda dari Habasyah yang menjadi budak Umayyah bin Khalaf, disiksa dengan cara yang sangat kejam—diletakkan di atas pasir panas terik dengan batu besar di atas dadanya. Namun, dengan iman yang teguh, Bilal terus mengucapkan "Ahad, Ahad" (Dia adalah Satu).
Amr bin Yasir, seorang pemuda Bani Makhzum, juga disiksa oleh majikannya Abu Jahal. Bahkan ibunya ditombak hingga tewas karena menolak meninggalkan Islam. Keluarganya menjadi keluarga pertama yang menjadi syuhada (mati membela agama) dalam Islam.
Umar bin Khattab yang pada waktu itu masih kafir, disiksa oleh Abu Jahal hingga matanya hamper buta. Utsman bin Affan dikurung dan dipukul di kamar gelap oleh saudaranya sendiri. Khabbab bin Arats ditarik-tarik rambutnya dan dibakar. Bahkan Utbah bin Rabi'ah dipukul hingga pingsan.
Meskipun penindasan terus berlanjut, kaum Muslim tidak berkurang. Sebaliknya, iman mereka semakin kuat, dan jumlah umat Islam terus bertambah. Hal ini membuat kaum Quraisy semakin kebingungan dan marah.
Strategi Fitnah dan Kampanye Dusta
Karena kekerasan tidak berhasil membuat umat Islam gentar, kaum Quraisy mengubah strategi. Walid bin Mughirah, salah seorang pembesar Quraisy yang kaya raya, menggelar pertemuan di rumahnya untuk merancang sebuah kampanye fitnah terhadap Nabi Muhammad.
Dalam riwayat disebutkan bahwa Walid bin Mughirah sebenarnya mengakui kebenaran ajaran Islam. Namun, dirinya tidak terima bahwa yang diangkat menjadi nabi adalah Muhammad dari Bani Hasyim, bukan dirinya dari Bani Makhzum, padahal Walid adalah salah satu pemimpin Quraisy paling kaya dan paling berpengaruh pada waktu itu.
Walid bin Mughirah memilih strategi untuk merusak nama baik Nabi Muhammad dengan menyebarkan fitnah bahwa beliau adalah seorang penyihir. Fitnah ini dimaksudkan agar masyarakat tidak terpengaruh dengan dakwah Nabi Muhammad.
Selain itu, Abu Jahal juga melakukan penghinaan yang sangat kasar. Pernah Abu Jahal melemparkan kotoran unta ke punggung Nabi Muhammad saat beliau sedang bersujud di depan Ka'bah, hingga Nabi Muhammad tidak mampu bangkit. Untunglah putri Nabi Muhammad, Fatimah, datang membersihkan kotoran di punggung ayahnya itu.
Hamzah dan Umar Masuk Islam
Di tengah tekanan yang terus meningkat, ada berita yang menggembirakan. Pada tahun ke-6 dari masa kenabian, saat penindasan mencapai puncaknya, tiba-tiba paman Nabi Muhammad yang terkenal sebagai jawara Quraisy, Hamzah bin Abdul-Muthalib, masuk Islam.
Kronologi masuknya Hamzah bermula ketika Abu Jahal menghina dan menyakiti Nabi Muhammad di depan publik di dekat Ka'bah. Hamzah yang mendengar perilaku Abu Jahal itu merasa marah. Meskipun saat itu Hamzah belum masuk Islam, namun rasa kehormatan keluarganya tersentuh. Hamzah mendatangi Abu Jahal dan memukulnya dengan busur panah hingga Abu Jahal jatuh tersungkur penuh darah.
Beberapa hari setelah Hamzah masuk Islam, Umar bin Khattab—yang merupakan salah seorang pemimpin Quraisy dan musuh utama Islam—juga masuk Islam. Cerita masuknya Umar sangat dramatis dan inspiratif.
Umar yang merasa kesepian karena adiknya Fatimah dan suaminya Said bin Zaid telah masuk Islam, putus asa ingin mencari Nabi Muhammad untuk membunuhnya. Di tengah jalan, Umar bertemu dengan Nuaim bin Abdullah yang memberi tahu bahwa keluarganya sendiri telah masuk Islam. Umar segera pulang menemui adiknya.
Di depan rumah, Umar mendengar suara orang membaca Al-Quran. Khabbab bin Arats sedang mengajarkan Surat Thaha kepada Fatimah dan Said. Umar membuka pintu dengan emosi tinggi dan membentak, "Apa yang kalian baca tadi?"
Ketika Said bin Zaid tidak menjawab, Umar memukulnya, dan dalam kemarahannya juga memukul adiknya Fatimah hingga mengeluarkan darah. Melihat darah adiknya, Umar merasa penyesalan. Beliau meminta kepada mereka untuk menunjukkan lembaran yang mereka baca.
Setelah membaca Surat Thaha, hati Umar tersentuh sepenuhnya. Cahaya hidayah masuk ke dalam qalbunya. Dengan mata berbinar-binar, Umar berkata, "Indah dan mulia sekali kalam ini! Tolong bawaku menemui Muhammad."
Ketika Umar sampai di rumah Al-Arqam tempat Nabi Muhammad berkumpul dengan para sahabat, para sahabat sempat takut melihat kedatangan Umar. Namun Nabi Muhammad menenangkan mereka dan mempersilahkan Umar.
Umar Bin Khattab langsung bersujud di depan Nabi Muhammad dan mengucapkan Kalimat Syahadat dengan penuh kesadaran. Sejak saat itu, umat Islam berani keluar dari rumah Al-Arqam dan mulai berdakwah secara terang-terangan dengan dua barisan: satu dipimpin oleh Hamzah dan satu dipimpin oleh Umar bin Khattab.
Melihat kepemimpinan dan keteguhan Umar, Nabi Muhammad memberikan gelar "Al-Faruq" (Pembeda antara Hak dan Batil) kepada Umar bin Khattab.
Hijrah ke Habasyah: Mencari Keamanan
Meskipun dua tokoh penting masuk Islam, penindasan kaum Quraisy terus berlanjut. Pada tahun ke-5 kenabian (tahun 615 Masehi), penindasan mencapai titik yang tidak tertahankan lagi. Nabi Muhammad melihat umatnya menderita tanpa henti.
Dengan hati yang penuh kasih sayang kepada umatnya, Nabi Muhammad memutuskan untuk memerintahkan sebagian pengikutnya untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia), di mana terdapat Raja Najasyi yang dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana.
Rombongan pertama yang hijrah berjumlah 15 orang (11 laki-laki dan 4 perempuan), dipimpin oleh Utsman bin Mazh'un. Beberapa bulan kemudian, rombongan kedua hijrah berjumlah hampir 101 orang (83 laki-laki dan 18 perempuan), dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib. Rombongan kedua ini juga termasuk Utsman bin Affan dan putri Nabi Muhammad, Ruqayyah.
Kedatangan kaum Muslim di Habasyah disambut baik oleh Raja Najasyi. Kaum Quraisy yang khawatir akan pengaruh Islam, mengutus Amr bin As dan Abdullah bin Rabi'ah untuk membujuk Raja Najasyi agar mengembalikan kaum Muslim dengan tuduhan dan fitnah. Namun Raja Najasyi menolak mendengarkan mereka sebelum mendengar keterangan langsung dari kaum Muslim.
Ja'far bin Abi Thalib berbicara dengan sangat elokuen menjelaskan tentang Islam kepada Raja Najasyi. Ketika Ja'far membacakan Surat Maryam, Raja Najasyi menangis dan berkata, "Sesungguhnya ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu cahaya yang sama." Raja Najasyi memutuskan untuk melindungi kaum Muslim.
Penutup: Pelajaran dari Dakwah Mekkah
Periode dakwah Nabi Muhammad di Mekkah adalah era paling berat namun penuh dengan pelajaran berharga. Beliau menghadapi penolakan yang brutal, penindasan yang kejam, dan ketidakpercayaan dari masyarakat, bahkan dari keluarga sendiri. Namun, teguh iman dan determinasi Nabi Muhammad tidak pernah goyah.
Dakwah Mekkah mengajarkan kita bahwa menyebarkan kebenaran bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, keteguhan, rasa kasih sayang kepada umat, dan tawakkal (berserah diri) kepada Allah. Keberhasilan bukan diukur dari jumlah pengikut atau kecepatan pertumbuhan, tetapi dari konsistensi dalam kebenaran dan komitmen yang tidak tergoyahkan.
Semoga kisah dakwah Nabi Muhammad di Mekkah menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu teguh dalam kebenaran, sabar dalam menghadapi cobaan, dan penuh dengan kasih sayang kepada sesama.
Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Ali Sayyidina Muhammad.